23:23 (2/5)

23-23-puchanli23:23–;
__________________________________________________

23:23 (2/5) by puchanli

‖ Kris Wu, Jessica Jung – Luhan, Park Chanyeol, EXO ‖

Chaptered ⁞ Action, Drama, Angst, Tragedy, Romance ⁞ Teen

“I own nothing but the storyline”

cr. poster to Bekey @ Cafe Poster

prolog • 1/5


© puchanli, 2015.

Hari itu nenekku tetap datang dengan taksi pada sore hari.

“Jessica sayang,” Nenek memelukku erat. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Sica. Sekarang kau sudah dewasa, ya.”

“Ya, Nek,” aku membalas pelukannya. Aroma yang khas dari nenekku yang sangat aku rindukan sejak aku masih kecil. “Nek, ayo kita membuat kue jahe lagi seperti dulu.”

Nenek tersenyum, “ah, Sica, kau masih anak kecil yang suka makan makanan manis, ya?” Ia melepas pelukanku dan mengelus pipiku. “Nenek akan buatkan kue jahe untukmu, tapi mungkin rasanya akan sedikit berbeda dengan yang dulu.” Nenek berlalu menuju kopernya, mengeluarkan sebuah buku resep. “Nenek baru saja mengikuti seminar dan mereka memberi nenek sebuah buku resep dessert. Mungkin kita harus mencoba beberapa makanan.”

Aku tersenyum, nenekku masih sama dengan yang dulu. Nenekku adalah salah koki terbaik di San Fransisco, ia mendapat penghargaan sebagai pembuat makanan dessert terfavorit dari walikota. Dan kedatangan nenek ke Korea ini karena adanya undangan untuk mengikuti seminar memasak di Oh La-La, sebuah restauran Asia populer di Seoul.

Namun malam itu nenek merasa pernafasannya terasa sulit dan berat, ia kemudian meminta maaf padaku karena tidak jadi membuatkan kue jahe. Dalam semenit aku merasa panik, aku tahu nenekku bisa tiba-tiba terkena asma dan aku tidak tahu-menahu mengenai penyakit asma dan perlakuan terhadap pasien jika aku sendirian.

“Nenek tetap di sini ya, aku akan mencarikan obat,” itulah yang bisa aku putuskan. Aku sebetulnya tidak ingin membiarkan nenekku sendirian di rumah, apalagi saat ini malam mulai larut. Namun aku lebih tidak ingin membiarkan nenekku berkali-kali merasakan dadanya nyeri karena batuk dan sesak nafas. “Ada rumah sakit terdekat di sini, hanya sekitar lima blok dari rumah ini.”

Nenek memandangku dan masih menggenggam dadanya. Akhirnya ia pun mengangguk. “Hati-hati, Sica.”

Aku tersenyum padanya dan segera meraih sweeter-ku untuk setelah itu segera berlalu. Malam itu terasa lebih dingin dari hari kemarin. Ketika langkahku mulai menginjak trotoar, sebuah Audi hitam misterius yang beberapa waktu ini terparkir di depan rumah Kris ada lagi di sana. Aku tidak berani untuk melirik melalui jendela rumah Kris, apa yang gerangan dilakukan olehnya. Kutarik nafas dalam-dalam dan segera meninggalkan rumahku dengan cepat.

Sebenarnya aku ingin sekali menggunakan taksi, mengingat 5 blok akan menjadi 10 blok jika ditempuh dengan jalan kaki. Namun sepanjang mata memandang tak ada segelintir pun mobil yang berlalu. Maka akhirnya aku tetap berjalan dengan lebih mempercepat langkahku. Nenekku masih di rumah dan aku harus segera kembali bersamanya.

Tiga puluh menit kemudian aku telah sampai di rumah sakit. Segala hal yang bersangkutan mengenai administrasi telah kulalui, namun ada kendala ketika saatnya pengambilan obat.

Beberapa orang duduk di ruang tunggu dengan tidak sabar. Rupanya ada sebuah gangguan dalam sistem peracikan obat. Aku nyaris memaki habis-habisan pada petugas di sana, namun kutahan sekuat tenaga. Kupikir kelalaian seperti ini harusnya segera ditindaklanjuti. Nyawa pasien lebih berharga dari apapun yang ada di rumah sakit ini.

Setelah menunggu cukup lama akhirnya aku mendapatkan obat asma nenek. Ketika aku keluar rumah sakit sebuah taksi kosong terparkir. Tanpa berpikir panjang segera kubuka pintunya dan menyuruh sang sopir untuk membawaku pulang. Sebuah rasa yang mengganggu terasa memenuhi relung hatiku. Aku bukan tipe seorang yang percaya dengan firasat atau rasa, tapi sebuah hal sedang terjadi dan ini benar-benar menggangguku.

Aku mencoba untuk tetap tenang dengan terus bernafas. Membiarkan semua ketidaknyamanan keluar bersama gas karbondioksida. Aku hampir bisa mencapai level tenang secara temporer, namun kemudian hatiku terasa pias tatkala ketika aku keluar dari taksi pintu depan rumahku telah terbuka.

“NENEK!” Aku berteriak kencang dan menghambur masuk. “NENEK?!” Aku berlari menuju kamarnya, namun nenekku tidak ada di sana. Yang ada hanya selimutnya yang tidak tertata rapi. Nenekku telah hilang. Rasa sesak menggandrungi diriku seketika, badanku terasa lemas, pikiranku kacau balau dan air mataku perlahan mulai mengalir.

Namun kemudian,

Kris! Dia yang memperingatkan untukku segera meninggalkan rumah ini malam ini. Apakah ini ada hubungannya dengan Kris?!

Aku segera bangkit dan berlari menuju rumah Kris, mengetok pintu rumahnya dengan keras dan tidak sabar. Tidak ada jawaban dari dalam. Kudorong pintunya dan terbuka. Aroma aneh yang biasanya kembali menyerbak menusuk hidung, kali ini terasa lebih kuat dari sebelumnya. Ditambah lagi rumah Kris terlihat sangat berantakan.

“Kris! Kau dimana?!” Aku berteriak sembari menyusuri tiap sudut rumahnya yang ternyata juga kosong. Aku nyaris putus asa dan kini air mataku kembali mengalir,

“Kris, di mana nenekku?!” Kakiku terasa lemas, tubuhku lunglai, aku hanya bisa terduduk di pintu depan rumah Kris dengan menyedihkan. Kuraih handphone-ku dan mencoba menghubunginya.

Tut-tut-tut-tut-tut

Mati. Tidak ada balasan. Sekali lagi.

Tut-tut-tut-klik!

Terangkat! Namun tidak terlalu jelas, seperti suara plastik belanjaan yang digosokkan di gagangnya.

“Kris!” Aku bangkit, air mataku kembali meleleh. “Kris, di mana nenekku?! Di mana dia sekarang, Kris?!” Kucoba untuk menahan rasa sesak yang terus menggebu dalam dadaku. Namun tetap gagal. Kris mungkin benar-benar seorang psikopat!

Baru kemudian ada balasan, “halo?” Sebuah suara berat yang sama dengan suara Kris. Aku terdiam sebentar, menunggu kelanjutan dari seberang. Namun siapapun dia tetap tidak membalas.

“Kris, di mana nenekku?!” aku menjerit, pada akhirnya. Semua usahaku untuk membendung rasa yang bercampur aduk di hatiku gagal seketika.

Ah, nenekmu,” dia melanjutkan. “Pergilah ke lorong buntu di dekat Blue Elephants Restaurant, kami akan menemuimu di sana.

Klik. Dia menutup teleponnya. Ada sebuah keraguan yang besar yang menimpaku tentang suara itu. Suara itu memang berat seperti Kris, tapi dialeknya sangat berbeda. Sebuah dilema kembali menyerangku, nenekku telah hilang dan seseorang-yang-entah-aku-tidak-tahu-asalnya memintaku untuk datang ke lorong buntu di dekat Blue Elephants Restaurant. Seseorang yang menerima telepon dari nomor Kris. Ditambah lagi dia menggunakan subyek kami dalam kalimatnya. Mungkinkah Kris bersama rekan psikopatnya sedang menyandra nenekku? Begitu kah? Seperti itu kah dirinya? Sungguh psikopat yang mengerikan!

Aku merasa hancur lebur saat itu, namun tak ada yang bisa kulakukan lagi. Aku harus mencari nenekku bagaimana pun juga. Maka aku berlari sekuat kakiku bisa bergerak menuju lorong buntu yang dimaksud. Kakiku terasa pegal dan aku rasa aku ingin pingsan karena percampuran udara dingin dan suhu tubuhku yang panas.
Aku telah sampai di lorong buntu yang dimaksud. Lorong ini berada di antara dua bangunan berlantai empat yang tinggi dan menyeramkan. Dan tidak ada siapa-siapa di sana. Kucoba untuk mengatur nafas sedemikian rupa dan meregangkan otot kakiku yang kaku. Kuraih lagi handphone-ku dengan gemetar, kali ini aku merasa sangat takut. Suhu tubuhku terasa terus meningkat dan keringat mengalir tak henti-hentinya di kedua pelipisku. Kutekan nomor Kris dengan jemariku yang sudah tak sanggup lagi untuk digerakkan dengan normal.

“Kris dimana nenekku?!” Semburku ketika terdengar bunyi klik.

Namun tak ada suara dari seberang, yang ada kemudian adalah sebuah tawa menakutkan misterius yang aku sangat yakin itu bukan tawa milik Kris. Kris tidak pernah tertawa seperti iblis. Atau apakah dia telah menjadi iblis seketika?

Aku berpegang pada lampu kota tepat di sebelahku. Mungkin jika tidak ada pegangan aku akan jatuh dan pingsan. Maka kuatur nafasku sekali lagi. Aku telah berhasil untuk mencoba berdiri tegak, meskipun kakiku terasa masih bergetar hebat. Kemudian terdengar sebuah suara keras yang sangat asing dari kejauhan sana. Apapun itu tapi itu lebih mirip suara dentuman keras tembakan, atau pelatuk yang telah ditarik.

Badanku kembali bergetar tak karuan. Bunyi senapan tadi kemudian disusul oleh suara dentuman yang lain dari tempat nan jauh di sana. Aku terjatuh berlutut, kali ini kakiku sudah tak mampu menahan berat bedanku. Aku benar-benar takut saat ini. Benar-benar takut.

Dua detik kemudian seorang pria tinggi muncul dari kegelapan di ujung lorong sana dengan kostum hitam yang tertutup rapat. Karena cahaya yang sangat minim atau memang penglihatanku yang semakin lama semakin melemah, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa lelaki tinggi yang ternyata membawa senapan di tangan kanannya. Aku merasa lemas dan benar-benar akan pingsan ketika sosoknya dari jauh mengangkat senapannya sejajar bahu dan mengarahkannya tepat kepadaku.

Belum ada lima detik, aku segera menutup mataku, mengantisipasi untuk mengurangi rasa sakit ketika pelurunya nanti menembus tubuhku. Setidaknya inilah akhir riwayat hidupku. Seorang jurnalis yang mati ditembak di sebuah lorong buntu oleh seseorang tak dikenal. Dentuman itu kembali terdengar namun tak dapat kulihat dengan mata tertutup.

Jantungku berdegup kencang, dan masih berdegup. Aku nyaris tidak merasakan apapun, ada apa ini? Apakah aku telah mati? Atau penembak itu kehabisan peluru? Atau dia justru menembak dirinya sendiri? Ketika kubuka mataku, sosok lelaki tinggi berdiri tepat di depanku dengan wajahnya tepat berada di depan wajahku. Tangannya menekan kuat pada dinding buntu di kanan dan kiri tempatku terduduk lemas, mengurungku dalam lingkupannya.

Aku terkejut dan nyaris terlonjak menabrak dinding belakang. Lelaki itu menatapku dengan syahdu dan juga cairan merah kental yang mengalir dari sudut mulutnya. Lelaki itu, Kris Wu, membentangkan lengannya yang panjang untuk menutupi tubuhku dan ia tersenyum!

Adegannya begitu cepat, aku bahkan sama sekali tak menyadari kehadirannya. Bagaimana bisa dia yang semula tak ada di sini tiba-tiba sudah muncul di depanku dengan tubuhnya sebagai perisai? Apakah dia benar-benar vampire atau alien? Atau hasil genetika dari keduanya?

Kris terbatuk dan memuncratkan darahnya tepat ke sweeter-ku. Dia segera menutupi mulutnya, “maafkan aku…,” ia berbisik, dengan suara beratnya yang terdengar lemah, ditambah dengan nafasnya yang tak karuan.

“Tidak apa-apa,” aku membalas, entah mendapat tenaga darimana aku bisa menimpalinya.

Kris meraih dada kanannya yang perlahan mengucurkan darah. Jadi, di situlah tempat peluru itu menancap. Kris perlahan roboh, dengan tangannya yang masih menggenggam dada kanannya. Aku segera meraih kepalanya dengan gemetar. Aku benar-benar tidak pernah mengalami hal seperti ini selama aku hidup.

“Kris!”

Noona,” dia berkata lirih, sangat lirih. “Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku,” suaranya menjadi redup dan parau. “Nenekmu ada di tempat aman.”

Tanganku merinding kuat, hatiku berdesir hebat, dan air mataku kembali berucuran perlahan. “Kris, jangan.” Aku terisak, merasa sesak dengan semua kejadian ini. “Kris, tolong, jangan.”

Dia sudah tidak menjawab lagi. Air mataku semakin deras mengalir dan kini nyaris membanjiri seluruh wajahku. Hingga kemudian sebuah suara sepatu bot memecahkan suasana. Aku melirik pada penembak yang sedari tadi menyaksikan aksi heroik Kris. Dia berjalan mendekat, membuatku harus bergerak mundur.

Kini tampaklah sosoknya di bawah cahaya lampu jalan. Dia pria yang tinggi, mungkin sama tingginya dengan Kris, perlahan melepas slayer hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Tampaklah wajahnya dengan sebuah seringai yang terlukis abstrak.

“Rupanya dia kekasihmu, ya?” Dia bertanya, dengan suara berat yang mirip dengan Kris. Suara yang sama yang berasal dari telepon tadi. Tak bisa disangkal lagi, dia pasti yang mengangkat teleponku!

Dia maju selangkah, membuatku mundur dua langkah. “Sayang sekali ya, sekarang dia sudah tidak bisa melindungimu.” Kakinya menggerak-gerakkan lengan Kris yang sudah tergeletak. Dadaku kembali berpacu dahsyat memicu adrenalin yang tak pernah kurasakan ketika pria tinggi itu mengangkat kembali senjatanya. Aku hanya bisa tertunduk, dan menangis.

Ketika terdengar bunyi klek, tandanya dia siap menarik kembali pelatuknya, aku sudah menutup telinga dan mataku. Dan pada detik-detik ketika dia mengambil posisi, aku merasa sudah mati sebelum dia sempat menembak. Dentuman keras yang terdengar sangat nyata kembali muncul, kali ini benar-benar dekat di telingaku.

Namun tak ada yang terjadi padaku, justru suara dentuman lain yang menyahut dan juga terdengar lebih dekat. Ketika kuangkat kepalaku, sosok yang semula terbaring di tanah itu sudah bangkit! Dia berdiri dan menembakkan pistol yang berada di sakunya, membalas penembak sebelumnya. Terdengar bunyi dentuman beberapa kali dari keduanya secara berbalasan beserta bau darah yang tiba-tiba menyengat.

Dapat kulihat dengan sangat jelas, tubuh tinggi penembak tadi perlahan lemas dan terkulai. Dadanya sudah mulai mengalirkan darah, begitu pula mulutnya. Ia terjatuh di tanah. Darahnya mengalir sangat cepat hingga hanyut dalam aliran pembuangan di pinggir lorong. Sama dengan penembak tadi, tubuh tinggi Kris juga roboh beserta erangan kesakitan. Aku segera menghampirinya.

Butiran air mata kembali menerobos pelupuk mataku ketika kulihat tangan kiri Kris memegang kuat dada kirinya kini telah berlumuran darah. Ia mengerang pelan.

“Kris!” Kuraih kepalanya, kini dapat kulihat dengan jelas wajah rupawan itu sekarang tampak sangat pucat bersama luka-luka lebam yang biru keunguan dan cairan merah kental dari bibirnya yang indah. “Jangan khawatir, akan kutelepon ambulan.”

Aku hendak meraih handphone-ku namun Kris menepis lenganku cepat. “Tidak perlu,” ia berkata amat sangat lemah. Matanya berkaca-kaca dan kini meneteskan butir permata indah dari tiap sudutnya. “Cukup temani aku di sini.”

Tak ulung, aku segera memeluknya erat-erat, membiarkan seluruh darahnya bercampur dengan sweeter-ku dan membiarkan air mata kami bertumpah menjadi satu. “Maafkan aku, Kris… .” Aku mengelus rambut belakang Kris kemudian turun ke tengkuknya.

“Tidak apa-apa,” Kris membalas berbisik dengan suara paraunya yang terdengar makin lemah. “Noona, tolong, jangan bersedih lagi, bahagialah, buat hidupmu berarti,” ia terdiam sebentar. “Aku mencintaimu, Noona.”

Kulepas pelukannya, ia memandangku sangat dalam dan aku juga membalas tatapannya. “Aku juga mencintaimu, Kris.”

Kris tersenyum dan perlahan menggerakkan tangannya untuk meraih kepalaku. Namun tiba-tiba tangannya menegang sebentar dan setelah itu melemah, nyaris tanpa tenaga, dan jatuh begitu saja. Matanya yang semula menatapku perlahan menjadi kosong dan abdomennya tidak naik-turun seperti sebelumnya. Namun senyumnya masih di sana, terlukis indah di bibirnya yang mungil. Dia telah pergi saat itu, meninggalkanku dengan sebuah senyuman terindah yang pernah Kris miliki.

__________________________________________________

(a/n).

halo! ini chapter kedua– maaf ya lama lagi c”: aku akhirnya november mau uas nih- doain yak! mohon review nya~~
—puchanli.

( h a r l e q u i n. )

6 thoughts on “23:23 (2/5)

  1. ini udah end atau masih ada lanjutannya..?
    aduh bayangin scen diatas jadi deg-degan sendiri bacanya. ..
    aigoo kris sosweet banget sih ngelindungin sica sampe diri sendiri yg kena tembak,pria tinggi yg mau nembak sica itu chanyeol kah ?bikin penasaran bnget nih,kalo ada lanjutannya cpet di post ya thor

    Like

  2. Pingback: 23:23 (3/5) | G A LAXYEH E T

  3. Pingback: 23:23 (4/5) | G A LAXYEH E T

  4. Pingback: 23:23 (5/5) | G A LAXYEH E T

  5. Pingback: 23:23 (Epilog) | G A LAXYEH E T

Send SOS Juseyo?